WBN| SUMEDANG- Dalam acara doa bersama yang dilakukan setiap setahun sekali oleh warga masyarakat disusun Dayeuhluhur, desa Dayeuhluhur kecamatan Ganeas kabupaten Sumedang, kegiatan ini bertujuan puji syukur kepada Allah SWT bahwa apa yg sudah diperoleh dan yang dinikmati selama ini wajib disyukuri dengan memanjatkan doa bersama-sama.(01/08/2022) Kegiatan seperti ini terus menerus sebagai
EyangJaya Perkasa. Berita Maret 15, 2022 Maret 16, 2022. Tanah dan Air Keramat dari Dayeuhluhur Sumedang Dibawa ke Ibu Kota Negara. Berita Terkait. Ternyata Gara-gara Ini, Peziarah Dilarang Pakai Batik Saat Ziarah Makam Keramat Dayeuhluhur Sumedang.
Bendabenda pusaka Prabu Siliwangi dan Kian Santang, berupa pusaka peningalan dari Syekh Sunan Rochmat Suci atau Raden Kian Santang diantaranya adalah : Prabu Siliwangi memerintahkan Eyang Jaya Perkasa untuk membuat tida senjata keramat yang merupakan senjata kujang yang di tiap pegangannya diberi bentuk harimau dengan warna yang berbeda.
JAYAPERKASA!!! KETANGGUHAN SANG SENOPATI. SUMEDANG LARANG. Sampurasun Baraya Sajagat Raya. Eyang Jaya Perkasa adalah salah satu patih/senopati di kerajaan SUMEDANG LARANG, beliau termasuk kedalam salah satu kandaga lante yang mengawal mahkota binokasih dari padjajaran pasca keruntuhanya pada tahun 1578 yang disebabkan oleh desakan dan serangan dari kesultanan Cirebon yang dipimpin leh Syeh
SelamatDatang Di Blog Kami, Konsultasikan Permasalah Anda Dengan Sesepuh Kami Abah Buyut
Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd. Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Saat kepemimpinan Prabu Guru Aji Putih abad XII nama kerajaan tersebut adalah Kerajaan Tembong Agung Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur. Dan pada masa zaman Prabu Tajimalela nama kerajaan diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya. ===================================================================== Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang, karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi adipati bupati. Prabu Geusan Ulun 1580-1608 M dinobatkan untuk menggantikan kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota. Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi Priangan kecuali Galuh Ciamis. Kerajaan Sumedang Larang pada masa Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial, budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran hancur. Pada masa kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi sebelum meninggalkan Keraton mengutus empat prajurit pilihan tangan kanan Prabu Siliwangi yang disebut sebagai Kandaga Lante untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang. Kandaga Lante yang menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot. Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan Banten wadyabala Banten tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas. Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai Cipamali kecuali Cirebon dan Jayakarta, batas sebelah utaranya Laut Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia. Pada masa itu, Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat prajurit setianya Kandaga Lante. Setelah dari pesantren di Demak, sebelum pulang ke Sumedang Larang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua berasal dari keturunan Sunan Gunung Jati. Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon. Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang, tanpa sepengetahuan Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dan karena Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke Sumedang Larang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi perang antara Cirebon dan Sumedang Larang. Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu. Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang Larang menyerahkan wilayah sebelah barat Sungai Cilutung sekarang Majalengka untuk menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur. ================================================================== Baiklah, cukup dengan informasi yang saya dapatkan dari Wikipedia. Karena saat ini, saya ingin menulis tentang penggalan kisah yang saya dapatkan dari keturunan anggota keluarga Pajajaran yang kemudian masuk ke dalam kerajaan Sumedang Larang. Saya menulis kisah ini berdasarkan penuturan seorang ibu yang bernama Lia Juanita Suherli, istri dari alm. Charles van Rijk, di mana ibu mertua ibu dari alm. Charles van Rijk merupakan keturunan dari Eyang Jaga Baya yang merupakan seorang tokoh pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun. Cerita ini diceritakan secara turun-temurun, dan saya merasa sangat beruntung dapat mendengarnya secara langsung. Saya mohon maaf sebelumnya jika ada kesalahan atau kekurangan pada tulisan ini dari cerita yang sesungguhnya. Diceritakan bahwa ibu dari Charles van Rijk yang bernama oma Iyot adalah putri dari Aki Adjoem nama kecil yang merupakan putra sulung dari Eyang Jaya Manggala. Eyang Jaya Manggala merupakan keturunan dari Eyang Jaga Baya yang bersaudara dengan Eyang Jaya Perkosa Sanghyang Hawu dan Eyang Terong Peot Batara Pancar Buana. Sesuai dengan informasi Wikipedia di atas, Prabu Geusan Ulun bersama dengan Kandaga Lante mengunjungi Cirebon. Dan kemudian Prabu Geusan Ulun membawa pulang Ratu Harisbaya. Pada saat itu Prabu Geusan Ulun telah memiliki seorang permaisuri bernama Ratu Kencana Wungu. Ratu Kencana Wungu setelah mengetahui bahwa Prabu membawa seorang Ratu baru yang kemudian dinikahinya meninggalkan kerajaan Sumedang Larang dan bertapa di suatu tempat. Ratu Kencana Wungu meninggalkan kerajaan dan melepas semua atribut kerajaannya karena tidak menginginkan Prabu Geusan Ulun memiliki dua orang Ratu. Ratu Kencana Wungu mengganti namanya menjadi Nyimas Cukang Gedeng Waru, dan beliau kemudian mengabdikan dirinya untuk membantu orang lain yang mengalami kesulitan. Salah seorang dari Kandaga Lante, yaitu Eyang Jaya Perkosa yang pulang belakangan mengetahui bahwa Ratu Kencana Wungu telah meninggalkan kerajaan. Eyang Jaya Perkosa yang saat itu menjadi kaget dan sedih karena kepergian Ratu Kencana Wungu, bertanya pada adiknya yang adalah Eyang Jaga Baya. Percakapan yang sesungguhnya dalam bahasa Sunda, namun saya menulisnya dalam bahasa Indonesia. Percakapan dalam tulisan ini adalah percakapan yang mewakili percakapan yang sesunguhnya terjadi. “Mengapa adik membiarkan hal ini terjadi? Mengapa adik membiarkan Ratu pergi dari kerajaan?” Eyang Jaga Baya menjawab, “Saya tidak berani, karena Prabu telah berkehendak demikian menikah dengan Ratu Harisbaya”. Eyang Jaga Baya tentu merasa kesulitan untuk menentang dan menghalangi kepergian Ratu Kencana Wungu. Namun, Eyang Jaya Perkosa menjadi marah setelahnya dan berkata, “Kalau begitu adik tidak pantas untuk berada di sini!” Seketika itu juga Eyang Jaya Perkosa menendang Eyang Jaga Baya hingga 5 km jauhnya. Namun, karena Eyang Jaga Baya juga memiliki kesaktian yang tinggi, Eyang mendarat dengan kedua kaki berdiri di sebuah tempat yang kemudian diberi nama Nangtung. Nangtung memiliki arti berdiri dalam bahasa Indonesia. Sejak saat itu, Eyang Jaga Baya menetap di Nangtung begitu juga dengan keturunannya. Nama asli dari Eyang Jaga Baya hingga saat saya menulis cerita ini tidak tercantum pada tulisan dalam Wikipedia di atas. Saya tidak tahu mengapa? Mungkin karena Eyang Jaga Baya memiliki nama lain yang saya belum dapatkan informasinya atau karena hal lain. Yang pasti nama Jaga Baya merupakan nama keprajuritan yang memiliki arti sebagai berikut, Jaga = menjaga, Baya = marabahaya. Jadi, sesuai dengan namanya Eyang Jaga Baya memang bertugas untuk menjaga dari suatu marabahaya. Eyang berjaga di daerah Cadas Pangeran pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun yang saat itu merupakan pintu masuk menuju kerajaan Sumedang Larang. Museum Geusan Ulun
Embah Jaya Perkasa atau Sanghiyang Hawu adalah salah satu Patih Kerajaan Sumedang Larang saat diperintah Raden Angka Wijaya atau lebih dikenal sebagai Prabu Geusan memakai baju batik bagi keturunan Embah Jaya Perkasa ternyata dilarang bagi keturunannya saat berziarah ke makamnya di Gunung Rengganis, Sumedang, Jawa Barat. Baca Juga Kisah Mistis Makam Medelek di Jombang yang Dianggap Sebagai Kuburan Terangker di IndonesiaKonon hal ini terkait sumpah yang diucapkan Embah Jaya Perkasa saat menghilang tanpa bekas di Gunung tersebut usai menghadap sang Raja Prabu Geusan Ulun. Tapi, mengapa ada larangan memakai batik jika berziarah ke tempat ini? Jika dilanggar, benarkah celaka akan segera menimpa?”Memang ada ada larangan tidak boleh pake batik. Dilarang atau tabu untuk pengunjung pakai batik ke atas. Ini merupakan satu simbol, bahwa ke atas ke tempat Panglima Sumedang Larangan jangan punya hati yang belang seperti batik. Siapa yang melanggar pantangan itu, akan kena bala,” ungkap Nano Sutisna, Kuncen petilasan Mbah Jaya Juga Ternyata Ini Alasan Batu Nisan Perempuan Belanda di Jogja Selalu MiringMemasuki kaki rengganis, suasana terasa mistis. Juga, ketika memasuki area petilasan Mbah jaya Perkasa. Inilah tokoh keramat Pepatih Dalem Prabu Geusun Ulun, yang bertahta di Kerajaan Sumedang Larang pada tahun 1579 hingga 1801 lampau. “Yang mau ziarah atau nyekar ke Pangeran, tasnya juga harus disimpan untuk menghormati leluhur dan adat,” imbuh hawa metafisika yang kuat, larangan sangat beras bagi peziarah memakai batik, memag tidak bisa ditawar-tawar lagi. Larangan ini konon sangat erat kaitannya dengan konflik lama, antara Sumedang Larang dengan Cirebon. Dan kini, larangan itu seperti menjadi keyakinan massal, yang jika dilanggar akan membawa malapetaka. “Boleh percaya boleh tidak ya. Dulu ada yang sengaja coba melanggar pakai batik naik ke atas, eh mengalami kecelakaan. Karena dia melanggar aturan dan adat yang berlaku di sini,” tutur Nano, tanpa menjelaskan lebih lanjut kecelakaan yang Juga Kisah Mistis Masjid Kuno Bacan yang Konon Terdapat Nisan Makam yang Tumbuh Sendiri Karenanya, warga di sekitar Petilasan Mbah Jaya Perkasa atau yang berada di lereng gunung Rengganis paham betul dengan larangan memakai batik ini. Bahkan ditantang dibayar berapapun tak ada yang berani. Pasalnya, mereka sudah menyaksikan sendiri suasana mencekam yang muncul, begitu ada yang melanggar larangan itu. “Karena menurut leluhur dan tokoh masyarakat, bisa terjadi malapetaka semacam hujan angin yang dahsyat kalo larangan itu dilanggar,” tandas Dadang, warga sekitar.
In 1992, PT PJB and PT PJI commenced cooperation with Chinese engineering company - Shandong Machinery Import and Export Group SDMIEC. This collaboration had since spawned the successful construction of many coal-fired steam power plants all over Indonesia. As a representative of SDMIEC in Indonesia, PJB and PJI aim to provide electricity to remote and isolated areas by facilitating the construction of the power plants. In 2003, following Albert Wu's vision, the company's first independent power producer IPP project was constructed. The 2 x 7 megawatt MW power plant in Lati Berau, East Kalimantan started operations in 2004 and is legally registered as PT Indo Pusaka Berau PLTU; as another one of PJB's subsidiaries. Following the success of the first IPP project, in 2005 the Regional Government of Palu officially invited PJB to assist in Palu's electricity crisis. As a response to this invitation, PJB constructed two coal-fired steam power plants as an IPP. This power plant has the capacity of 2 x 15 MW and is legally registered under PT Pusaka Jaya Palu Power PJPP, PLTU - PJB being one of the shareholders. Since then PJB and PJI has, under the management of Albert Wu, facilitated the construction of many more power plants in Indonesia. We are very proud and very humbled to assist in filling the electricity demands of the Indonesian Government and private industries.
pusaka eyang jaya perkasa