KHR. Ahmad Fawaid As'ad Samsul Arifin, pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Safi’iyah Sukorejo Situbondo, meninggal dunia. Kiai Fawaid meninggal dunia dalam usia yang sangat muda, yaitu 43 tahun. Putra dari Kiai Syamsul Arifin itu meninggal dunia di Graha Amerta RS Dr. Soetomo, Surabaya, Jum'at (9/3), pukul 12.15 WIB. NASIONALISME AGAMA KH. ZAINI MUN’IM DAN KHR. AS’AD SYAMSUL ARIFIN Maskuri Universitas Islam Malang, Indonesia E-mail: masykuri@unisma.ac.id Shoni Rahmatullah Amrozi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember, Indonesia E-mail: shonirahmatullah@gmail.com Peni Catur Renaningtyas Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan PGRI Jember, Indonesia Tercenung agak lama, Prof. Abd A’la memandang penulis. Hingga akhirnya beliau berbisik, “Saya dulu dapat ijazah wirid dari guru saya KH As’ad Syamsul Arifin Situbondo: ShalallĂąhu alaika yĂą RasĂ»lallĂąh.” Menurut Prof. Abd A’la, wirid itu dibaca 1.000 kali dalam sehari semalam. Boleh dicicil usai shalat ataupun di waktu senggang. As’ad Syamsul Arifin (1897 – 4 August 1990) was an Indonesian ulama and co-founder of Nahdatul Ulama. In 2016, he was declared a National Hero of Indonesia. [1] Dalam hati kecilnya ia ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan. Sementara Kiai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kiai Hasyim lalu mengutus seorang santrinya bernama As’ad Syamsul Arifin, kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo, untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada Kiai Hasyim di Tebuireng Vay Tiền TráșŁ GĂłp Theo ThĂĄng Chỉ Cáș§n Cmnd Hỗ Trợ Nợ Xáș„u. As’ad Syamsul Arifin 1897-1990 M. adalah putra pertama dari pasangan Syamsul Arifin 1841–1951 M. dan Nyai Hj Siti Maimunah binti KH Muhammad Yasin, masih ada hubungan keluarga dengan Syaikhuna Kholil Bangkalan 1820-1925 M.. Tak ada naskah memadai yang menjelaskan sosok Nyai Maimunah ini kecuali disebutkan sebagian sumber bahwa pernikahan Kiai Syamsul Arifin dan Nyai Maimunah berlangsung di Mekah pada tahun 1890 M. KH R. Syamsul Arifin sendiri lahir dari pasangan Kiai Ruham dan Nyai Nur Sari. Jika nasab Kiai Ruham bersambung hingga ke Sunan Ampel, maka Nyai Nur Sari disebut dalam sejumlah buku sebagai keturunan Raja Sumenep ke-29, Bendoro Saud, yang memerintah dari tahun 1750 M. hingga 1762 M. Bendoro Saud kerap ditulis sebagai anak keturunan Pangeran Katandur Sayyid Ahmad Baidhawi, salah seorang cucu Sunan Kudus. Kuburan Pangeran Katandur terletak di desa Bangkal, dua kilometer dari kota Sumenep. Hingga sekarang banyak peziarah yang datang, baik ke makam Bendoro Saud di Asta Tinggi maupun ke makam Pangeran Katandur, untuk kepentingan tabarrukan dan penelitian. Kiai As’ad lahir di Mekah ketika Kiai Syamsul Arifin studi di sana. Dan Kiai Syamsul Arifin telah menghabiskan 40 tahun dari 110 tahun usianya di Mekah. Di Mekah, Kiai Syamsul Arifin berguru kepada banyak ulama besar seperti Syaikh Nawawi Banten 1813-1897 M. yang 24 karyanya banyak dibaca di pesantren-pesatren Jawa dan Madura. Kiai Syamsul Arifin juga sempat belajar pada Sayyid Abi Bakar ibn Muhammad Syatha al-Dimyathi 1849-1892 M./ 1226-1310 H. pengarang kitab I’anah al-Thalibin dan Kifayah al-Atqiya’, dua kitab yang juga banyak dikaji di pesantren. Sayang sekali Sayyid Abi Bakar Syatha tak memiliki umur pajang. Beliau wafat dalam usia 43 tahun. Namun, sebelum wafat, Sayyid Abi Bakar Syatha masih sempat berguru pada Syaikh Ahmad Zaini Dahlan 1816-1886 M., pengarang kitab yang sangat masyhur di Nusantara, syarah al-Ajurumiyah. Tak hanya Sayyid Abi Bakar, rupanya Syaikh Nawawi Banten dan Kiai Mahfudh Termas 1868-1920 M. juga berguru kepada Syaikh Ahmad Zaini Dahlan. Tak tertutup kemungkinan Kiai Syamsul Arifin yang saat itu juga sedang studi di Mekah sempat berguru pada Syaikh Ahmad Zaini Dahlan. Setelah puluhan tahun berada di Mekah, Kiai Syamsul Arifin bersama keluarganya termasuk Kiai As’ad yang masih kecil pulang ke tanah air, Nusantara. Ketika Kiai Syamsul Arifin mengembangkan Pesantren Sukorejo yang dirintisnya sejak tahun 1914 dan setelah Kiai As’ad muda malang melintang dari satu pesantren ke pesantren lain, maka Kiai As’ad yang sudah memasuki usia remaja itu dikirim kembali ke Mekah. Di sana Kiai As’ad belajar pada banyak ulama kelas dunia. Pertama, Kiai As’ad belajar pada Sayyid Abbas ibn Abdul Aziz al-Maliki 1868-1934 M./ 1285-1934 H. yang juga berguru pada al-Sayyid Abi Bakar Muhammad Syatha. Nanti anak keturunan Sayyid Abbas ibn Abdul Aziz ini menjadi guru banyak ulama nusantara. Sayyid Abbas ibn Abdul Aziz punya anak bernama Sayyid Alawi ibn Abbas al-Maliki 1910-1971 M. / 1328-1391 H., berputra Sayyid Muhammad ibn Alawi ibn Abbas 1948-2004 M./1367-1425 dan Sayyid Abbas ibn Alawi al-Maliki 1948-2015 M./ 1367-1436 H.. Sebelum wafat tahun 2004, Achmad Azaim Ibrahimy, Pengasuh PP Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo periode 2012-sekarang, sempat berguru pada Sayyid Muhammad ibn Alawi. Kedua, Kiai As’ad berguru pada Sayyid Hasan ibn Sa’id 1894-1971 M./ 1312-1391 H.. Ayah beliau, Sayyid Sa’id ibn Muhammad ibn Ahmad Yamani, adalah guru Kiai Syamsul Arifin. Sayyid Hasan ini pengajar tetap di Masjidil Haram dan pernah mengajar di Madrasah Shaulatiyah tahun 1904 M/1322 H.–1907 M./1325 H. Murid-muridnya datang dari berbagai negara, mulai dari Mekah hingga Malaysia dan Indonesia. Bahkan, Sayyid Hasan ibn Sa’id pernah berkunjung ke Indonesia sebanyak dua kali. a. Tahun 1925 M./1344 H. dan kembali ke Mekah tahun 1926 M./1345 H. b. Tahun 1930 M./1349 H. dan kembali ke Mekah 1937 M./1356 H. Bahkan, beliau tercatat pernah menjadi mufti di Terengganu Malaysia ketika beliau beberapa tahun menetap di sana dan wafat di Mekah tahun 1391 H./1971 M. Dikuburkan di Ma’la Mu’alla? Mekah. Ketiga, Kiai As’ad juga berguru pada Sayyid Muhammad Amin ibn Muhammad Amin al-Kutby 1909-1984 M./ 1327-1404 H.. Nama lengkapnya, al-Sayyid Muhammad Amin ibn Muhammad Amin ibn Muhammad Shalih ibn Muhammad Husain al-Kutby al-Hasani al-Hanafi. Beliau adalah ulama bermadzhab Hanafi yang mengajar secara reguler di Masjidil Haram, Madrasah al-Falah, Ma’had I’dad al-Mu’allimin. Ia menulis sejumlah buku. Salah satu karya Sayyid Muhammad Amin Kutbi yang saya koleksi adalah Nafhu al-Thiib fi Nafhi al-Habib SAW, buku yang berisi pujian dan kekaguman penulisnya pada Nabi SAW. Ditulis dalam bentuk puisi dengan diksi yang indah. Keempat, Kiai As’ad juga berguru pada Syaikh Hasan ibn Muhammad ibn Abbas ibn Ali ibn Abdul Wahid ibn al-Abbas al-Munafi al-Masysyath 1899-1979 M./1317-1399 H.. Ia adalah ulama berpengaruh al-ustadz al-mu’atstsir di masanya. Dikenal sebagai al-muhaddits ahli hadits al-faqih ahli fikih al-Maliki bermadzhab Maliki. Ia menulis 17 kitab di berbagai bidang. Ia misalnya menulis al-Tuhfah al-Saniyah fi Ahwal al-Waratsah al-Arba’iniyyah, Ta’liqat Syarifah ala Lubbi al-Ushul, Inarah al-Duja fi Maghazi Khairi al-Wara, Bughyah al-Mustarsyidin bi Tarjamah al-A’immah al-Mujtahidin. Ia memiliki banyak murid dari berbagai negara, mulai dari Yaman hingga Indonesia. Salah satu murid Syaikh Hasan Masysyath yang dari Yaman adalah Syaikh Ismail Zain 1933-1994 M./1352-1414 H. yang kemudian menjadi guru dari salah seorang putra Kiai As’ad Syamsul Arifin, yaitu Mohammad Kholil As’ad 1970-sekarang–Pendiri dan Pengasuh PP Walisongo Situbondo Jawa Timur. Dua guru Kiai As’ad yang terakhir itu, Sayyid Muhammad Amin dan Syaikh Hasan Masysyath, dari segi usia memang lebih muda dari Kiai As’ad. Namun, sebagaimana kiai lain, dalam mencari ilmu Kiai As’ad tak memandang usia. Tak masalah berguru pada yang lebih muda karena kealiman memang tak terkait dengan usia. Kiai Syamsul Arifin juga berguru pada Sayyid Abi Bakar Syatha yang usianya terpaut 8 tahun lebih muda dari dirinya. Dengan narasi ini, ingin saya katakan; sungguh beruntung para pelajar Islam yang studi di Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Asembagus Situbondo Jawa Timur karena sanad ilmu mereka melalui KH. R. Syamsul Arifin dan KH. R. As’ad Syamsul Arifin adalah sanad yang tinggi, lewat jalur ulama-ulama besar terhubung hingga ke Rasulullah SAW. Semoga berkah dan manfaat. Nafa’ana Allah bi ulumihima wa afadha alaina min barakatihima, Aaamiin. Ahad, 31 Januari 2021 Oleh Abdul Moqsith Ghazali - As'ad Syamsul Arifin adalah seorang ulama besar sekaligus tokoh dari organisasi Islam Nahdlatul Ulama NU. Jabatan terakhir yang ia emban dalam NU adalah sebagai Dewan Penasihat Pengurus Besar NU. Pada 1920, As'ad Syamsul Arifin mendongkrak semangat perjuangan dan dakwah Islam melalui Barisan Pelopor adalah wadah dalam membina mantan bandit di Pesantren Sukorejo untuk dakwah dan perjuangan. Oleh karena itu, Arifin juga disebut sebagai pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Sukorejo. Baca juga Tokoh-Tokoh Revolusi RusiaAwal Hidup As'ad Syamsul Arifin lahir di Mekkah, Saudi Arabia, tahun 1897. Ia merupakan putra dari KH Syamsul Arifin dan Siti Maimunah. Ketika berusia enam tahun, Arifin dibawa oleh orang tuanya kembali ke Pamekasan, Jawa Timur. Di sana mereka tinggal di Pondok Pesantren Kembang Kuning, Pamekasan, Madura. Setelah lima tahun menetap, sang ayah mengajak As'ad Syamsul Arifin pindah ke Asembagus, Situbondo. Kemudian As'ad Syamsul Arifin pindah ke Pulau Jawa untuk menyebarkan agama Islam. Salah satu riwayat awal pendirian Nahdlatul Ulama tidak terlepas dari peran KH Raden As’ad Syamsul Arifin. Ia menjadi wasilah perantara ketika Hadratussyekh KH Muhammad Hasyim Asy’ari meminta restu kepada gurunya, KH Cholil Bangkalan untuk mendirikan jam’iyah Nahdlatul Ulama. Santri As’ad kala itu menjadi penyampai pesan Kiai Cholil Bangkalan kepada Kiai Hasyim Asy’ari. As’ad yang saat itu menjadi santri Kiai Hasyim Asy’ari di Tebuireng diutus untuk menemui Kiai Cholil di Bangkalan, Madura. Sebelumnya, As’ad juga nyantri di Pesantren Kademangan asuhan KH Cholil Bangkalan. As’ad mengungkapkan bahwa petunjuk hasil dari istikharah gurunya, KH Hasyim Asy’ari justru tidak jatuh di tangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru KH Hasyim Asy’ari. Ada dua petunjuk yang harus disampaikan oleh As’ad sebagai penghubung atau wasilah untuk menyampaikan amanah KH Cholil kepada KH Hasyim Asy’ari. Hal itu merupakan bentuk komitmen dan takzim santri kepada gurunya apalagi terkait persoalan-persoalan penting dan strategis. Ditambah tidak mudahnya bolak-balik dari Bangkalan ke Tebuireng di tengah situasi penjajahan saat itu. Petunjuk pertama, pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh KH Cholil Bangkalan untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as. Petunjuk kedua, kali ini akhir tahun 1925 santri As’ad kembali diutus KH Cholil Bangkalan untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna Ya Jabbar, Ya Qahhar. Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama yaitu KH Hasyim Asy’ari. Setibanya di Tebuireng, santri As’ad menyampaikan tasbih yang dikalungkannya dan mempersilakan KH Hasyim Asy’ari untuk mengambilnya sendiri dari leher As’ad. Bukan bermaksud As’ad tidak ingin mengambilkannya untuk Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan As’ad tidak ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari Kiai Cholil kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad sepanjang perjalanan dari Bangkalan ke Tebuireng. Setelah tasbih diambil, KH Hasyim Asy’ari bertanya kepada As’ad “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga 3 kali sesuai pesan sang guru. KH Hasyim Asy’ari kemudian berkata, “Allah swt telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyah”. Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010 72 Dari perannya sebagai wasilah pendirian NU tersebut, Raden As’ad Syamsul Arifin bisa dikatakan sebagai santri khos’ KH Cholil Bangkalan dan KH Hasyim Asy’ari. Dalam Ensiklopedia NU Jilid 1 2014 147 dijelaskan bahwa KH As’ad Syamsul Arifin lahir Sy’ib, Makkah pada tahun 1897 M/1315 H dari pasangan KH Syamsul Arifin dan Nyai Hj Siti Maimunah ketika mereka menunaikan ibadah haji. Ketika As’ad Syamsul Arifin menginjak usia enam tahun, ia dibawa pulang oleh orang tuanya ke Indonesia, sementara saudaranya bernama Abdurrahman dititipkan kepada saudara sepupunya yang tinggal di Makkah, Arab Saudi. Pendidikan dan sanad keilmuan Awalnya, As’ad dan keluarganya tinggal di pondok pesantren keluarganya di Kembang Kuning, Pamekasan, Madura. Setelah 4-5 tahun, mereka pindah ke Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur yang saat itu masih berupa hutan belantara. Pengembaraan awalnya dalam menuntut ilmu, KH Syamsul Arifin mengirim As’ad ke Pondok Pesantren Banyuanyar yang didirikan KH Itsbat Hasan pada tahun 1785 M. Ketika As’ad masuk, Pesantren Banyuanyar diasuh oleh KH Abdul Majid dan KH Abdul Hamid. Di Pesantren Banyuanyar, As’ad nyantri selama tiga tahun 1910-1913. Setelah dari tiga tahun nyantri di Pesantren Banyuanyar, As’ad kemudian dikirim ayahnya ke Madrasah Shaulatiyah. Perguruan yang cukup terkemuka di Makkah. Di Madrasah Shaulatiyah, As’ad bertemu dengan beberapa santri dari Indonesia seperti Zaini Mun’im, Ahmad Thoha, Muhammadun, dan Baidlowi Lasem. Di Madrasah Shaulatiyah, As’ad berguru kepada Sayyid Abbas al-Maliki ayah dari Sayyid Alwi al-Maliki, Syekh Hasan al-Yamani, Syekh Muhammad Amin al-Quthbi, Syekh Bakir, dan Syekh Syarif Syanqithi. Setelah beberapa tahun di Madrasah Shaulatiyah, As’ad kembali ke Indonesia dan berguru kepada KH Nawawi Pesantren Sidogiri, KH Khazin Pesantren Panji Siwalan, KH Cholil Bangkalan Pesantren Kademangan, dan KH Hasyim Asy’ari Pesantren Tebuireng. Perjuangan dan kiprah Pada tahun 1908, setelah pindah ke Situbondo, KHR As'ad Syamsul Arifin dan ayahnya beserta para santri yang ikut datang dari Madura "membabat alas" menebang hutan di Dusun Sukorejo untuk didirikan pesantren dan perkampungan. Pemilihan tempat tersebut atas saran dua ulama terkemuka asal Semarang, Habib Hasan Musawa dan Kiai Asadullah, dua tokoh yang juga guru Kiai As’ad Syamsul Arifin. Usaha As'ad dan ayahnya tersebut akhirnya terwujud. Sebuah pesantren kecil yang hanya terdiri dari beberapa gubuk kecil, mushola, dan asrama santri yang saat itu masih dihuni beberapa orang saja. Sejak tahun 1914, pesantren tersebut berkembang bersamaan dengan datangnya para santri dari berbagai daerah sekitar. Pesantren tersebutlah yang akhirnya dikenal dengan nama Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah. Sepeninggal sang ayah KH Syamsul Arifin pada tahun 1951, kepengasuhan pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah diberikan kepada Kiai As’ad. Di bawah asuhannya, Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga pada tahun 1968 berdirilah sebuah Universitas Syafi’iyah dengan Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Dakwah saat ini Universitas Ibrahimy juga sejumlah layanan pendidikan formal di berbagai jenjang. Estafet kepemimpinan pesantren diteruskan oleh putera-puteri KH As’ad Syamsul Arifin, yaitu Zainiyah, Nur Syarifah, Nafi’ah, Mukarromah, Makkiyah As'ad, Isyaiyah As'ad, Raden Fawaid As’ad, dan Raden Kholil As’ad. Saat ini, KH Achmad Azaim Ibrahimy cucu KH As’ad Syamsul Arifin menjadi pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah. Melawan penjajah Belanda dan Jepang Di era pergerakan nasional melawan penjajah Belanda dan Jepang, KH As’ad Syamsul Arifin aktif memberikan perlawanan. Ia ikut dalam perang gerilya pada masa revolusi fisik tahun 1945-1949. Dalam perang gerilya tersebut, ia bersama barisan pelopornya berhasil merampas senjata-senjata milik pasukan Belanda di daerah Gudang Mesiu Dabasah Bondowoso sekitar akhir Juli 1947. Adapun pada 10 November 1945, Kiai As’ad Syamsul Arifin membantu pertempuran di Surabaya dengan mengirim anggota pelopor dan pasukan Sabilillah Situbondo dan Bondowoso ke daerah Tanjung Perak. Pasukan yang dikirimnya terlibat pertempuran hebat di Jembatan Merah Surabaya. Kemudian pada September dan awal Oktober 1945, Kiai As’ad memimpin pelucutan senjata para serdadu Jepang di Garahan, Jember, Jawa Timur. Tindakan tersebut dilakukan setelah pasukan Jepang tidak mau menyerahkan senjatanya kepada pasukan yang dipimpin oleh Kiai As’ad Syamsul Arifin. Mengomando santri hingga preman “Perang itu harus niat menegakkan agama dan arebbuk negere’ merebut negara, jangan hanya arebbuk negere! Kalau hanya arebbuk negere’, hanya mengejar dunia, akhiratnya hilang! Niatlah menegakkan agama dan membela negara sehingga kalau kalian mati, akan mati syahid dan masuk surga!” Pernyataan tersebut merupakan petuah dan motivasi perjuangan dari KH Raden As’ad Syamsul Arifin 1897-1990 kepada pasukan santri Hizbullah dan Sabilillah dan pasukan pemuda yang awalnya menjadi preman, brandal, bajingan, dan jawara Pelopor untuk melawan penjajah Belanda. Pernyataan yang dikutip Munawir Aziz dalam bukunya Pahlawan Santri Tulang Punggung Pergerakan Nasional 2016 tersebut tidak hanya menggelorakan semangat juang para pemuda di wilayah Tapal Kuda, tetapi juga menyadarkan bahwa membela tanah air seiring dengan kewajiban membela agama. Sosok Kiai As’ad Syamsul Arifin menjadi inspirasi karena memiliki keilmuan, kemampuan, dan visi perjuangan yang lengkap. Kiai As’ad memiliki kedalaman ilmu agama yang mumpuni, mempunyai ilmu kanuragan dan bela diri, serta cukup menguasai ilmu militer. Selain menggerakkan para santri, Kiai As’ad juga cerdik dalam mengomando para bandit agar membantu perjuangan para santri mengawal kemerdekaan Indonesia. Kemampuan Kiai As’ad dalam mengorganisasi para brandal dan jawara dari wilayah Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Jember, Lumajang, dan Pasuruan dicatat oleh Syamsul A. Hasan 2003 yang dikutip Munawir Aziz. Kiai As’ad Syamsul Arifin mengumpulkan para bandit dan jawara tersebut dalam laskar bernama Pelopor, seperti dijelaskan di atas. Barisan Pelopor sering berpakaian serba hitam. Mulai dari baju, celana hingga tutup kepala. Senjata yang digunakan oleh barisan Pelopor ialah senjata-senjata khas daerah yakni celurit, keris, dan rotan. Yang unik menurut catatan tersebut, para bandit dan jawara yang berada di barisan Pelopor ini sendiko dawuh dan setia pada komando Kiai As’ad Syamsul Arifin. Kala itu, Kiai As’ad memerintahkan para pejuang Pelopor bagian logistik untuk mengirim pejuang yang berada di hutan. Baik pasukan Pelopor maupun laskar santri yang tergabung dalam barisan Hizbullah dan Sabilillah berjuang dengan strategi gerilya. Mereka masuk gunung dan keluar gunung untuk menyerang pasukan Belanda lalu mengamankan diri. Tokoh Khittah NU 1926 KH As’ad Syamsul Arifin bersama tokoh-tokoh lain di antaranya KH Achmad Siddiq, KH Abdurrahman Wahid serta lainnya turut berjuang dalam mewujudkan NU kembali Khittah 1926. Naskah Khittah NU tersebut dibahas dan dimatangkan dalam Munas NU tahun 1983 di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo selain memutuskan perumusan naskah hubungan Pancasila dan Islam serta menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi. Sehingga pada tahun 1983, NU resmi Kembali ke Khittah NU. Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama 2010 menjelaskan bahwa kegelisahan Kiai As’ad Syamsul Arifin untuk mengembalikan NU rel pendirian awal Kembali ke Khittah 1926 juga disebabkan karena NU selama dipimpin KH Idham Chalid terlalu tenggelam dalam aktivitas politik. Paham keulamaan yang terwujud dalam representasi syuriyah juga mengalami pergeseran nilai. Sehingga Munas NU tahun 1983 yang tidak dihadiri oleh KH Idham Chalid berupaya mengembalikan kewibawaan ulama, mengembalikan peran dan fungsi serta otoritas ulama. Dengan kata lain, Kembali ke Khittah 1926 berarti menjaga dan melestarikan paham keulamaan sebagai salah satu sistem nilai yang selama ini berlaku di NU. Paham keulamaan sebagai ruh di NU juga sebagai konsekuensi dari perwujudan akidah Ahlussunnah wal Jamaah Aswaja. Karya-karya KH As’ad Syamsul Arifin Selain kesaktian dan karomah-karomah yang dimilikinya, KH As’ad Syamsul Arifin juga menulis sejumlah kitab dan buku di bidang akidah, tauhid, fikih, muamalah, sejarah, sastra, dan amaliah sehari-hari. Berikut buku dan kitab karya KH As’ad Syamsul Arifin Risail, kitab setebal 21 halaman ini ditulis dengan huruf arab dan berbahasa Indonesia. Materi kitab ini berasal dari kitab Mafahim Yajib an Tushahhah karangan Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki dan beberapa kitab dan ulama yang lain. Tiga bahasan dalam Tsalats Risail, pertama masalah hakikat Asyariyah paham pemikiran Imam al-Asyari dan pengikutnya. Kedua, tentang Qodaniyah atau Ahmadiyah. Ketiga, membahas sekelumit akidah, syariat, dan akhlak Ahlussunnah wal Jamaah. 2. Risalah Shalat Jumat, kitab setebal 19 halaman ini ditulis dalam bahasa Arab. Pada permulaan, kitab yang membahas sholat Jumat ini berisi kutipan-kutipan ulama dari sebelas kitab, di antaranya al-Umm, Fiqh al-Madzahib al-Arba’ah, dan Nihayah al-Muhtaj tanpa di terjemahkan. Kiai As’ad kemudian memaparkan dengan bahasa Madura sejarah sholat Jumat di satu masjid. Kemudian karena beberapa alasan Kiai As’ad menyebut enam sebab, maka di sebuah daerah yang luas dan padat penduduknya diperbolehkan sholat Jumat di beberapa tempat. Kitab ini berakhir pada halaman 13. Sedangkan halaman 14-19 berisi tentang masalah ziaroh kubur dan istighosah. 3. At-Tajlib al-Barokah fi Fadli as-Sa’yi wa al-Harokah, kitab setebal 31 halaman ini membahas tentang muamalah dalam Islam. KH As’ad Syamsul Arifin menulis kitab ini pada momen malam pemilihan umum pertama dalam sejarah Indonesia yaitu pada 15 Desember 1955. Kitab ini berisi beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad tentang asal-usul kehidupan, bercocok tanam, mencari rezeki, dan muamalah lainnya. Dalam kitab ini Kiai As’ad Syamsul Arifin lebih memposisikan diri sebagai penyeru moral, tidak sampai pada tataran konsep dan strategi bermuamalah dalam hal-hal tersebut. 4. Risalah at-Tauhid, kitab setebal 42 halaman ini ditulis dengan huruf Arab tapi berbahasa Madura. Kitab ini membahas tentang ilmu tauhid namun lebih banyak mengupas masalah tasawuf. Misalnya, membahas tingkatan iman, macam-macam fana fillah, tujuan masuk tarekat, guru tarekat, dan waliyullah. Dalam kitab ini Kiai As'ad Syamsul juga mengingatkan agar kita tidak usah meminta menjadi orang yang keramat dan terkenal. Tapi kita berdoa agar menjadi orang yang cinta dan ridho kepada Allah. Menurut Kiai As'ad kalau ada seorang yang mengaku wali sesungguhnya orang tersebut bukan wali. 5. Tarikh Perjuangan Islam Indonesia, buku setebal 43 halaman ini ditulis menggunakan huruf Arab berbahasa Indonesia. Buku membahas tentang sejarah Wali Songo dan tokoh-tokoh penyebar Islam di Pulau Jawa dan Madura. Dalam buku ini menurut Kiai As’ad Syamsul Arifin setelah Nabi Muhammad wafat, para sahabat mengadakan musyawarah untuk menyebarkan Islam ke berbagai negara. Dalam buku ini, Kiai As’ad juga membahas tentang kunci sukses dakwah Wali Songo yang mengunnakan pendekatan langsung kepada masyarakat dengan penuh ikhtiar dan tawakal yang disertai sabar, qonaah, wara’, zuhud, dan lain-lain. 6. Isra’ Mi’raj, buku setebal 21 halaman ini ditulis dengan huruf Arab berbahasa Madura. Buku yang ditulis pada 27 Syawal 1391 H atau 17 Desember 1971 ini membahas tentang perjalanan isra’ mi’raj Nabi Muhammad saw. 7. Syair Madura, syair ini ditulis sebanyak 232 baris oleh KH As’ad Syamsul Arifin dengan huruf Arab dan berbahasa Madura. Syair ini ditulis pada bulan Ramadhan, tahunnya tidak ditemukan. Buku ini memberikan informasi bahwa Kiai As’ad Syamsul Arifin juga seorang penyair dan memiliki cita rasa seni. Hal itu mengingatkan kepada sosok KH Hasyim Asy’ari, guru Kiai As’ad. KH Hasyim Asy’ari yang selama ini dikenal kepakarannya di bidang hadits ternyata juga seorang sastrawan. Hal itu diungkapkan oleh Muhammad Asad Syihab dalam bukunya Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’arie Perintis Kemerdekaan Indonesia, terj. KH A Mustofa Bisri 1994. Asad Syihab 1994 30 menjelaskan bahwa Kiai Hasyim Asy’ari merupakan seorang pembicara yang fasih dan termasuk sastrawan yang menonjol. Beliau dalam berbagai kesempatan sering membacakan syair dan beliau mempunyai kumpulan puisi-puisi panjang yang beliau baca sendiri dalam berbagai forum. KH Hasyim Asy’ari juga memiliki banyak karangan dalam bidang sastra budaya. KHR As’ad Syamsul Arifin wafat pada 4 Agustus 1990 di Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur pada usia 93 tahun. Beliau dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah. Atas jasa serta perjuangan Kiai As’ad, Pemerintah RI menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional pada 9 November 2016. Gelar tersebut diberikan berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 90/TK/Tahun 2016. Fathoni Ahmad, Redaktur NU Online Oleh M. Rikza ChamamiBangsa Indonesia kembali mendapat hadiah dari Presiden Jokowi. Gelar pahlawan nasional resmi disandang oleh KHR As’ad Syamsul Arifin lewat Kepres Nomor 90 yang disahkan 3 November Kyai As’ad sudah tidak asing lagi bagi bangsa Indonesia. Perjuangannya dalam melawan penjajah dilakukannya dengan penuh tulus ikhlas dan total. Tidak segan, Kiai As’ad mengeluarkan biaya besar dalam mengkonsolidasi pasukan Hizbullah-Sabilillah bersama TNI menumpas sosok fenomenal KHR As’ad Syamsul Arifin itu? Ia bernama As’ad putra pertama dari KH Syamsul Arifin Raden Ibrahim yang menikah dengan Siti Maimunah. Kiai As’ad lahir pada tahun 1897 di perkampungan Syi’ib Ali Makkah dekat dengan Masjidil Haram. Garis kerurunannya berasal dari Sunan Ampel Raden Rahmat, yakni Kiai As’ad bin Kiai Syamsul Arifin bin Kiai Ruhan Kiai Abdurrahman bin Bujuk Bagandan Sidobulangan bin Bujuk Cendana Pakong Pamekasan bin Raden Makhdum Ibrahim Sunan Bonang bin Raden Rahmat Sunan Ampel.Perjuangannya dalam menegakkan agama Islam ahlussunnah wal jama’ah sungguh luar biasa. Termasuk Kyai As’ad dikenal sebagai figur yang gagah berani mengatakan kebenaran. Tidak salah jika kemampuan agamanya dipadukan dengan beladiri yang membuatnya dikenal sakti mandra As’ad menempuh pendidikan di Makkah sejak usia 16 tahun dan kembali ngaji di Jawa. Guru-gurunya di Makkah antara lain Sayyid Abbas Al Maliki, Syaikh Hasan Al Yamani, Syaikh Bakir Al Jugjawi dan ke tanah Jawa, ia belajar di berbagai pesantren Ponpes Sidogiri KH Nawawi, Ponpes Siwalan Panji Sidoarjo KH Khazin, Ponpes Kademangan Bangkalan KH Kholil dan Ponpes Tebuireng KH Hasyim Asy’ari.Wajar bila keilmuan agama Kiai As’ad sangat luar biasa. Dengan bekal ilmu itu, ia meneruskan perjuangan ayahandanya membesarkan Ponpes Salafiyyah Syafi’iyyah. Sejak 1938, Kyai As’ad mulai fokus di dunia pendidikan. Lembaga pendidikan itupun dikembangkan dengan SD, SMP, SMA, Madrasah Qur’an dan Ma’had Aly dengan nama Al-Ibrahimy sesuai nama asal ayahandanya.Peran Kiai As’ad dalam pendirian organisasi Nahdlatul Ulama NU sangat nampak sekali. Dimana ia merupakan santri kesayangan KH Kholil Bangkalan yang diutus menemui KH Hasyim Asy’ari memberi “tanda restu” pendirian kali Kiai As’ad diminta sowan Mbah Hasyim. Yang pertama dijalani dengan jalan kaki dari Bangkalan Madura menuju Tebuireng. Adapun yang kedua dilakukan dengan naik mobil “restu” KH Kholil pada Mbah Hasyim itu berupa tongkat dengan bacaan Surat Thaha ayat 17-23 dan tasbih dengan bacaan dzikir Ya Jabbar Ya Qahhar. Ketika pertama menerima tongkat itu, Mbah Hasyim menangis. “Saya berhasil mau membentuk jam’iyyah ulama” tegas Mbah Hasyim di hadapan Kyai As’ jasa Kiai As’ad sebagai penyampai isyarat langit dari Syaikhana Kholil inilah, NU berdiri. Maka ada sebutan empat serangkai ilham berdirinya NU itu terdiri dari KH Kholil, KH Hasyim Asy’ari dan KH As’ad Syamsul bagi Kiai As’ad bukan organisasi biasa, tapi organisasi para waliyullah. Maka harus dijaga dengan baik. Sebab dengan NU itu Indonesia akan dikawal waliyullah, ulama dan seluruh bangsa Indonesia.“Saya ikut NU tidak sama dengan yang lain. Sebab saya menerima NU dari guru saya, lewat sejarah. Tidak lewat talqin atau ucapan. Kamu santri saya, jadi kamu harus ikut saya! Saya ini NU jadi kamu pun harus NU juga,” tegas Kiai As’ Kiai As’ad dalam mengusir penjajah sangat nyata. Bahkan Pondok Pesantrennya pernah diserbu pasukan penjajah. Berkat kegigihannya, orang yang ada disana sudah bisa terevakuasi dengan baik. Kemahiran Kyai As’ad dalam beladiri dan seni perang menjadikan pasukannya memenangkan pertempuran di Bantal Asembagus dimana Belanda sempat mengepung markas Kiai As’ad dalam menjadikan Pancasila sebagai asas organisasi NU sudah tidak diragukan lagi. Saat Pemerintah mewajibkan penggunaan Pancasila tahun 1982/1983, NU merespon cepat dengan menggelar Munas Alim Ulama di Ponpes milik Kiai As’ 21 Desember 1983, Munas memutuskan menerima Pancasila dan revitalisasi Khittah 1926. Pada bulan Desember 1984 dalam Muktamar NU XXVII diputuskan asas Pancasila dan Khittah NU. Dan NU menjadi Ormas pertama yang menerima besar KH Achmad Shiddiq dalam menerima Pancasila ini diiyakan oleh KH As’ad bersama KH Mahrus Ali, KH Masykur dan KH Ali Ma’shum. Akibat dari menerima Pancasila itu, KH As’ad sering mendapatkan teror, surat kaleng dan ancaman mau semua ia lewati dengan penuh kebijaksanaan. Sehingga secara pelan-pelan Kiai NU dan para nahdliyyin bisa menerima dan memahami di balik makna NU berpancasila, semata-mata untuk keutuhan usianya ke 93, Allah Swt memanggil Kiai As’ad. KH As’ad Syamsul Arifin berpulang keharibaan-Nya pada 4 Agustus 1990 dan dimakamkan di komplek Ponpes Salafiyyah Syafi’iyyah. ***Penulis adalah Dosen UIN Walisongo dan Sekretaris Lakpesdam NU Kota Semarang. Information provided about à€Șà„à€€à„à€°à„€ Putri à€Șà„à€€à„à€°à„€ Putri meaning in English à€‡à€‚à€—à„à€Čà€żà€¶ à€źà„‡ à€źà„€à€šà€żà€‚à€— is DAUGHTER à€Șà„à€€à„à€°à„€ ka matlab english me DAUGHTER hai. Get meaning and translation of Putri in English language with grammar, synonyms and antonyms by ShabdKhoj. Know the answer of question what is meaning of Putri in English? à€Șà„à€€à„à€°à„€ Putri ka matalab Angrezi me kya hai à€Șà„à€€à„à€°à„€ à€•à€Ÿ à€…à€‚à€—à„à€°à„‡à€œà„€ à€źà„‡à€‚ à€źà€€à€Čà€Ź, à€‡à€‚à€—à„à€Čà€żà€¶ à€źà„‡à€‚ à€…à€°à„à€„ à€œà€Ÿà€šà„‡ Tags English meaning of à€Șà„à€€à„à€°à„€ , à€Șà„à€€à„à€°à„€ meaning in english, à€Șà„à€€à„à€°à„€ translation and definition in English. English meaning of Putri , Putri meaning in english, Putri translation and definition in English language by ShabdKhoj From HinKhoj Group. à€Șà„à€€à„à€°à„€ à€•à€Ÿ à€źà€€à€Čà€Ź à€źà„€à€šà€żà€‚à€— à€…à€‚à€—à„à€°à„‡à€œà„€ à€‡à€‚à€—à„à€Čà€żà€¶ à€źà„‡à€‚ à€œà€Ÿà€šà„‡

putra putri kh as ad syamsul arifin